TERBUKTi MAYORiTAS ALUMNi GHADiR KUM AKUi iMAMAH ALi WALAUPUN TiDAK MAU MEMBAi’AT

Posted on Mei 12, 2010 by syiahali

Mayoritas peserta Ghadir Kum mengakui bahwa Nabi SAW telah mengangkat Imam Ali sebagai khalifah, hanya saja mereka tidak mau mematuhi nash tersebut !!! MALAPETAKA kemudian terjadi ketika mazhab aswaja sunni justru tidak mengakui bahwa Nabi SAW telah mengangkat Imam Ali sebagai khalifah

Mayoritas Umat Islam peserta ghadir kum meyakini keimamahan Ali sebagai khalifah pengganti Nabi, hanya saja mereka menolak membai’at Ali dengan berbagai alasan…‘Umar bin Khaththab, pada waktu Rasul habis berpidato di Ghadir Kum datang memberi selamat kepada ‘Ali sebagai pemimpin umat sesudah Rasul

Malapetaka terjadi bagi kaum aswaja sunni, karena mereka berpedoman pada hadis hadis Aisyah yang mengingkari wasiat Nabi nomor tiga tentang Imamah Ali…MALAPETAKA bagi mazhab Aswaja Sunni karena mereka mengingkari keimamahan Ali padahal Umar bin Khattab justru mengakui dalil Ghadir Kum, akan tetapi kemudian ia ‘merampas’ kekhalifahan ‘Ali meskipun ia telah mengetahui hak ‘Ali untuk kekhalifahan

Umar Ibnu al-Khattab berkata sebaik sahaja wafatnya Nabi (s), golongan Ansar berselisihan dengan kami dan berhimpun di Saqifah Bani Sa’adah. Maka Ali dan Zubair serta sesiapa yang bersama mereka menentang kami.
Sahih Bukhari: 26/7

Ibnu Abil Hadid al-Muktazili dalam kitab Syarah Nahjul Balaghah mencatatkan bahawa kebayakan Muhajirin dan Majoriti Ansar tidak mengesyaki sesungguhnya Ali yang empunya Amir setelah Rasulullah.
Syarah Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid: 6/21;

Abbas bapa saudara Nabi mengatakan perilaku orang Islam ini adalah jelek; yang menyebabkan mereka berpisah dengan Ali dan mengikuti jejak Abu bakar.

Adapun dalam riwayat dalam catatan Ibnu Abil Hadid:
“Umar bertanya pada Zubair: Pedang ini untuk apa? Jawabnya: Ku siap sediakan ia untuk pembai’atan Ali” Syarah Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid, 6/48, Saqifah Wa Fadak, Juhari 73

Juga Riwayat yang tersedia:
Sebahagian kaum Muhajirin dan Ansar berselisihan dan mereka yang bersama Ali ialah Abbas bin Abdul Mutalib, Abu Fadl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad, Salman, Abu Zar, Ammar, Bara’ bin ‘Arib, Ubai Ka’ab, ‘Aduh bin Abi Lahab, Talhah bin Ubaidullah, Khuzaimah bin Thabit, Taruh bin Muhammad, Khalid bin Sa’id bin ‘As dan kumpulan Bani Hasyim.
Dalam sebahagian riwayat pula telah disebut hampir 30 ribu orang mengikuti Ali (as). Ibnu Abil Hadid bertanya kepada gurunya: Kenapa Ali bersama kekuatan 30 ribu orang tidak berjaya? Jawapan yang didengarinya: Apakah kekuatan 30 ribu orang terdaya untuk bangun berjuang menghadapi kekuatan 70 ribu atau 100 ribu yang dihimpun mereka?.

Dari arah lain, pada zaman itu raja Rom menyerang, sehingga Islam dari akar umbi ingin mereka cabutkan dan umat Islam ingin mereka hapuskan habis-habisan. Dari satu arah lagi orang Yahudi sudah bersiap sedia menyerang Islam, golongan Munafik juga sibuk merencana konspirasi. Dalam suasana begini Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib berkata: Jikalau aku bangun demi kebangkitan dan hak-hak, peperangan dari dalam meletus dan musuh memanfaatkan peluang ini dan Islam yang sebenar akan jatuh dalam mara bahaya.Nahjul Balaghah, surat 62; As-Syafi 3/243.

Oleh itu tidaklah benar Ali bin Abi Talib tidak mengambil perhatian subjek ini.

Masalah lain yang berkaitan dengan ini juga perlu diambil kira, iaitu ketika sebelum perancangan beberapa orang membina satu suasana, sehingga pemerintahan daripada Ali dirampas dan diberi pada Abu Bakar. Mukadimah-mukadimah ini juga telah disiap sediakan sejak di zaman nabi (s).
Ibnu Abil Hadid al-Muktazili dalam syarah peristiwa Saqifah telah mencatatkan: Beberapa orang daripada kabilah Aslam mendiami khemah di sekitar Madinah. Beberapa berita telah sampai; mereka telah mengikat janji dengan khalifah ke-dua bahawa selepas kewafatan Nabi (s), mereka akan masuk ke kota Madinah dan mengambil Bai’at orang ramai secara paksa. Umar bin al-Khattab sendiri berkata bahawa setelah kewafatan Nabi, beliau pernah melihat khabilah Aslam di kota Madinah, saya dijamin oleh bantuan mereka (Tarikh Tabari, 2/459). Had bilangan individu-individu kabilah ini sangatlah ramai hingga tiada tempat lagi di lorong-lorong Madinah untuk mereka lalu lalang.Tarikh Tabari, 2/458

Bara bin ‘Azib menukilkan beberapa individu daripada kabilah ini memakai persalinan tentera dan memaksa orang ramai membai’at Abu Bakar samada orang ramai mahu atau tidak mahu. Dengan arahan Umar jikalau barangsiapa yang membantah akan dipukul dan dicerca.
Syarah Nahjul Balaghah; Ibnu Abil Hadid; 1/219

‘Ali berpendapat bahwa Abu Bakar dan ‘Umar mengetahui betul bahwa kekhalifahan adalah hak ‘Ali, seperti roda sebuah kincir, sebab Nabi ‘mewasiatkan’ Imamah itu kepada ‘Ali, sebagaimana kesimpulan dari pidato ‘Ali tersebut. Mengapa maka ‘Ali mengatakan bahwa Imamah atau kepemimpinan umat adalah hak yang diwariskan kepadanya oleh Rasul dan di ketahui juga oleh ‘Umar dan Abu Bakar, akan kita bicarakan pada bab mengenai nas untuk kekhalifahan. Cukuplah apabila dikemukakan di sini bahwa ‘Ali menganggap bahwa Rasul telah mewariskan kekhalifahan kepadanya, sebagaimana dikatakannya sendiri.

Dengan kata lain Khilafah atau Imamah, menurut ‘Ali, berdasarkan nas.

‘Umar bin Khaththab, yang pada waktu Rasul habis berpidato di Ghadir Kum datang memberi selamat kepada ‘Ali sebagai pemimpin umat sesudah Rasul, telah ‘merampas’ kekhalifahan ‘Ali meminjam istilah ‘Ali sendirimeskipun ia telah mengetahui hak ‘Ali untuk kekhalifahan ‘seperti roda dari sebuah kincir’.

Tatkala ‘Ali menjadi khalifah pasca Usman, ia pernah mengumpulkan orang banyak di pekarangan masjid, lalu ia berkata kepada mereka:Aku menghimbau, demi Allah, kepada setiap orang di antara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan Rasul Allah saw pada peristiwa Ghadir Khumm, agar berdiri dan memberikan kesaksiannya mengenai apa yang telah didengarnya. Dan hendaklah jangan berdiri selain mereka yang benarbenar telah menyaksikan Rasul Allah dengan kedua matanya dan kedua telinganya.

Maka berdirilah tiga puluh orang di antara para sahabat, dua belas di antaranya adalah pejuang Badr. Dan mereka memberikan kesaksian bahwa Rasul Allah saw telah mengangkat lengan ‘Ali dan bersabda: ‘Bukankah kalian semua mengetahui bahwa diri saya adalah yang paling utama menjadi wali bagi diri Anda, lebih dari diri Anda sendiri? ‘Mereka menjawab, ‘Benar’. Dan beliau berkata lagi, ‘Barangsiapa yang mengakui saya sebagai maulanya, maka inilah saudaranya! Ya Allah, cintailah siapa yang memperwalikannya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya!’ 577

Dengan kata lain, ‘Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa ia telah ditunjuk Rasul sebagai penggantinya. Suatu hal yang menarik dari riwayat ini ialah adanya tiga orang yang tidak mau berdiri dan memberikan kesaksiannya pada waktu itu, meskipun ketiganya ikut menyaksikan pidato Rasul di Ghadir Khumm, dan ‘Ali menyumpahi mereka. Malah di Ghadir Khumm sendiri pun pada masa itu, seorang yang bernama Harits bin Numan alFihri telah membangkang terhadap Rasul dan menuduh beliau belum juga merasa puas dengan agama yang disampaikannya, ‘dan mengangkat lengan sepupu Anda (‘Ali) dan mengutamakannya di atas kami semua’, dan pergilah ia meninggalkan Rasul.

Kuatnya hadis Ghadir Khumm ini tidak dapat disangkal. Di antara para ahli yang menguatkan hadis ini ialah Imam Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan penulis penulis Sunni lain, seperti Ibnu Atsir dalam Usdu’lGhabah, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Isti’ab, Ibnu ‘Abdu Rabbih dalam al’ Iqd alFarid, dan Jahizh dalam ‘Utsmaniyyah. Lebih dari seratus saluran isnad yang berbedabeda dan paling sedikit 110 Sahabat yang telah menyampaikan kesaksiannya, dan tercatat dalam bukubuku sejarah Sunni membuktikan kuatnya hadis ini. Ibnu Katsir, seorang Sunni yang fanatik, menulis tujuh setengah halaman tentang peristiwa ini.

Setelah melakukan ibadah Haji Perpisahan (Hajjatu’lWada) bersama jemaah haji, Rasul berhenti di Ghadir Khumm. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Dzul Hijjah tahun 10 Hijriah, 73 hari sebelum wafatnya Rasul Allah saw, 12 Rabi’ul Awal, tahun 11 Hijriah. Ghadir Khumm adalah suatu tempat beberapa kilometer dari Makkah ke arah Madinah. Tempat berpaya dan ditumbuhi beberapa pohon rindang ini merupakan sebuah persimpangan. Disini mereka berpisah ke berbagai jurusan. Ada yang ke arah Madinah, Mesir dan Syria.

577 Musnad Imam Ahmad, jilid 4, hlm. 370; jilid 1, hlm. 119.

==================================================
‘Umar dan Abu Bakar Beri Selamat Pada ‘Ali

Sesudah itu ‘Umar bin Khaththab datang bersama jemaah menemui ‘Ali dan ‘Umar berkata:‘Alangkah bahagianya Anda (hani’an laka) wahai Ibnu Abi Thalib, Anda menjadi maula setiap mu’min dan mu’minat!’ Dan di riwayat lain: ‘Beruntung Anda (bakhin bakhin laka) wahai Ibnu Abi
Thalib!’. Dan dalam riwayat lain: ‘Beruntung ya ‘Ali! (bakhin ya ‘Ali) engkau menjadi maula kaum mu’minin dan mu’minat!

Ada dengan lafal: “Hani’an laka yabna Abi Thalib! ashbahta wa amsaita maula kulli mu’minin wa mu’ininat!” (Selamat bagimu, hai Ibnu Abu Thalib, engkau telah menjadi maula setiap mu’min dan mu’minat). Ada dengan lafal: “Hani’an laka, ashbahta wa amsaita maula kulli muminin wa muminat!” (tanpa yabna Abi Thalib). Ada “Amsaita yabna Abi Thalib maula kulli mu’minin wa mu’minat yang punya arti sama. Ada “Hani’an laka yabna Abi Thalib, ashbahta maulaya wa maula kulli mu’minin wa mu’minat” (Selamat ya Ibnu Abi Thalib, engkau telah menjadi maulaku dan maula setiap mu’min dan mu’minat). Ada yang berlafal: “Bakhin, bakhin yabna Abi Thalib! yang punya arti serupa. Ada pula dengan lafal: “Bakhin ya aba’l Hasan.. (Selamat ya ayah dari Hasan..!). Ada lagi: “Thuba laka ya abal Hasan.. (Beruntung Anda, ya ayah dari Hasan!).

Ada pula:“Bakhin, bakhin laka ya aba’l hasan” (Selamat ya ayah dari Hasan!) ( Lihatlah Syawahid atTanzil, jilid 1, hlm. 101. Untuk lafal terakhir lihatlah Musnad Ahmad, jilid 4, hlm.281, Sunan Ibnu Majah, Bab Fadhail ‘Ali dan Muhibbuddin Thabari, ArRiyadh anNadhirah, hlm. 169. Lihat juga Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 210.)

Bukti Sejarah

Peristiwa-peristiwa sejarah juga menuturkan kisah yang sama. Dengan kata lain, sosiologi kaum Muslim menunjukkan hal yang sama. Kita tahu Umar mengatakan, “Kami tidak memilih Ali, sebagai langkah jaga-jaga untuk kepentingan Islam.” Kaum Quraisy tak mau menerima Imam Ali as, karena mereka tidak dapat mentoleransi Imam Ali as.

Kaum Quraisy menganggap tidak benar kalau kenabian dan imamah keduanya ada dalam satu keluarga. Yang ingin dikatakan Umar adalah bahwa Bani Hasyim telah mendapat kemuliaan berkat kenabian. Apakah kekhalifahan juga akan ada di keluarga itu, sehingga semua kemuliaan ada di satu rumah. Itulah alasan kenapa kaum Quraisy tidak menyukai imamah Imam Ali as. Ibn Abbas memberikan jawaban yang sangat meyakinkan terhadap perkataan Umar dan mengutip banyak ayat Al-Qur’an untuk mendukung argumennya.

Kelihatannya situasi serupa yang ada di masyarakat Muslim diungkapkan dengan cara yang berbeda, oleh Al-Qur’an begini dan oleh Umar begitu. Misal, sebuah riwayat menyebutkan bahwa Imam Ali as dianggap tidak tepat untuk menjadi Khalifah karena Imam Ali as telah membunuh begitu banyak tokoh Arab di berbagai pertempuran Islam. Orang-orang Arab, anak-cucu tokoh-tokoh Arab yang telah dibunuh oleh Imam Ali as menaruh dendam kepada Imam Ali as, sekalipun setelah mereka masuk Islam. Sebagian orang Sunni juga mengemukakan argumen ini. Mereka mengatakan bahwa sekalipun Imam Ali as lebih unggul dibanding sahabat lain dan lebih memenuhi syarat, namun Imam Ali as tidak dipilih karena musuhnya banyak.

Jadi, di zaman Nabi saw atmosfernya diwarnai perasaan cemas. Dan pengumuman tentang suksesi Imam Ali as akan menyulut pemberontakan. Barangkali itulah sebabnya Al-Qur’an menyebut masalah imamah dalam ayat-ayat ini sedemikian rupa sehingga arti penting ayat-ayat ini dapat dimengerti oleh setiap orang yang objektif atau tak berprasangka. Al-Qur’an tidak mengemukakan masalah ini dengan cara yang kalau masalah ini ditolak oleh orang-orang yang cenderung menolaknya, maka penolakan itu akan menimbulkan penolakan terhadap Islam dan Al-Qur’an. Dengan kata lain, Al-Qur’an masih memberikan kesempatan kepada para penentang untuk menyembunyikan penolakan mereka di balik tirai tipis. Seperti itu pula alasan kenapa ayat Thathhîr juga disisipkan di antara ayat-ayat lain. Namun setiap orang yang jujur dan berakal sehat dapat menangkap makna sejatinya dan dapat melihat independensi ayat ini. Begitu pula dengan ayat “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu,” dan ayat “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dan Tuhanmu.”

Ayat “Walimu hanyalah Allah “

Ada beberapa ayat lain berkenaan dengan persoalan ini yang menarik untuk dipikirkan dengan seksama. Ayat-ayat ini rasanya memiliki makna khusus. Makna khusus ini dapat dipahami dengan bantuan riwayat-riwayat mutawatir saja. Salah satu ayat ini mengatakan sebagai berikut:

Sesungguhnya walimu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan salat dan menunaikan zakat sementara mereka rukuk. (QS. al-Mâ`idah: 55)

Menunaikan zakat sembari rukuk bukanlah prosedur biasa atau normal. Maka tak dapat dikatakan bahwa hal ini disebutkan sebagai norma umum. Karena itu ayat ini pasti berkenaan dengan peristiwa tertentu. Ayat ini mengisyaratkan ke arah peristiwa ini sedemikian rupa sehingga kalau ditolak tidak dapat dianggap melawan Al-Qur’an. Namun setiap orang yang tak berprasangka akan mudah berkesimpulan bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa tertentu yang tidak biasa. Orang-orang yang menunaikan zakat sembari rukuk tidak merujuk ke praktik yang lazim. Ayat ini mengindikasikan suatu peristiwa yang luar biasa. Peristiwa apa itu? Kita tahu bahwa baik kaum Syiah maupun kaum Sunni sepakat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Imam Ali as.

==================================================
Umar Mengakui’Ali Paling Utama

Apakah ‘Umar dan Abu Bakar mengetahui kedudukan ‘Ali dalam kekhalifahan itu? Bukankah baru 73 hari sebelum Rasul wafat ‘Umar memberi selamat pada ‘Ali di Ghadir Khumm dengan katakata:
‘Mulai sekarang engkau jadi maulaku dan maula kaum mu’minin dan mu’minat?’. Kalau ‘Umar mengetahui, maka beranikah ‘Umar melanggar ‘nash’ tersebut?’ Untuk itu, marilah kita ikuti dialogdialog
berikut. ‘Umar, tatkala sedang memangku jabatan khalifah, terlibat
perdebatan dengan seorang remaja kesayangannya tetapi selalu berdebat dengannya, yaitu ‘Abdullah bin ‘Abbas.
——————————————
dialog Umar dengan Ibnu Abbas :

‘Umar: ‘Apakah ia mengaku bahwa Rasul Allah saw telah menetapkannya untuk itu?’

‘Abdullah: ‘Benar, dan bahkan saya tambahkan lagi, bahwa saya pernah menanyakan kepada ayah saya tentang nas Rasul Allah saw tersebut, dan ia membenarkannya’.

‘Umar: ‘Memang Rasul Allah saw seringkali melimpahkan pujiannya pada pribadi ‘Ali, tetapi itu tidak merupakan hujjah yang pasti atau alasan yang kuat. Dan itu hanyalah sebagai ujian bagi beliau untuk sementara waktu (apakah umatnya mahu menerimanya sebagai khalifah atas
mereka, atau tidak). Dan beliau pun pernah berkeinginan untuk menyebutkan namanya secara terus terang, tetapi aku telah menghalangi keinginan beliau itu. 533
===============================================
‘Umar: ‘Ali Terlalu Muda

Abu Bakar alAnbari dalam Amaliah meriwayatkan bahwa ‘Ali, suatu ketika, duduk dekat ‘Umar di masjid yang penuh jemaah. Setelah ‘Ali pergi seorang menyebut ‘Ali sebagai seorang yang kelihatan bangga dan percaya akan dirinya sendiri.

Maka ‘Umar berkata: ‘Adalah hak orang seperti dia punya rasa bangga!’ Demi Allah, bila tidak ada pedangnya, bagaimana mungkin
tonggak Islam akan tegak? Ia adalah seorang pemutus masalah yang paling andal, anggota paling awal dan paling mulia dari umat ini!’. Lelaki itu bertanya: ‘Kalau demikian, wahai Amiru’lmu’minin, apa yang menghalangi kamu sehingga tidak menyerahkan kekhalifahan kepadanya?’.

‘Umar: ‘Kami mencegahnya, karena ia terlalu muda dan cintanya kepada Banu ‘Abdul Muththalib! 534

Pada garis besarnya ‘Umar mengetahui tuntutan ‘Ali, tapi menghalanginya jadi khalifah karena ‘terlalu muda’, ‘cinta pada keluarga ‘Abdul Muththalib’, ‘kaum Quraisy tidak menyukai nubuah
dan khilafah berada pada Banu Hasyim, agar mereka tidak angkuh’. 535

534 Ibn AbilHadid, Syarh Nahju’lBalaghah, jilid 12, hlm. 82. Lihat catatan kaki Bab 15: ‘Ali Dan Peristiwa Saqifah, sub bab ‘Umar: ‘Ali Terlalu Muda?.

535 Bila kita ikuti perdebatan antara Ibnu ‘Abbas dan ‘Umar, kita melihat bahwa Ibnu ‘Abbas mengingatkan Umar agar mendahulukan nash dari pendapat pribadi. Tatkala turun ayat “Dan beri peringatanlah kepada keluargamu terdekat”, misalnya, Rasul telah menetapkan ‘Ali sebagai khalifahnya tatkala ‘Ali baru berumur belasan tahun. Demikian pula hadits hadits lain mengenai ‘Ali yang tak terhitung jumlahnya.

Nas Bagi ‘Ali. Semua orang tahu bahwa Rasul Allah mengangkat Usamah bin Zaid jadi jenderal yang membawahi kaum Muhajirin dan Anshar termasuk Abu Bakar, Umar, Abu ‘Ubaidah bin alJarrah dan Sa’d bin
Ubadah untuk berperang melawan kaum Romawi di Mu’tah, tatkala ia baru berumur 18 tahun.
=========================================
Tentang Ummu’l mu’minin ‘A’isyah

Rasul juga bersabda tentang ummu’l mu’minin ‘A’isyah:
“Diriwayatkan oleh Musa bin Isma’il, dari Juwairiyah, dari Nafi’, dari ‘Abdullah yang berkata: “Nabi saw sedang berkhotbah dan beliau menunjuk ke arah kediaman ‘A’isyah sambil berkata: ‘Disinilah akan muncul tiga fitnah sekaligus, dan dari situlah akan muncul tanduk setan’. 709

‘Abdullah meriwayatkan dari Ubay dari ‘Ikramah bin ‘Ammar dari Ibnu ‘Umar yang berkata:“Rasululah saw keluar dari rumah ‘Aisyah dan bersabda: ‘Kepala kekufuran akan muncul dari sini,
dan dari sini akan muncul tanduk setan’. 710

Rasul Allah saw keluar dari rumah ‘A’isyah sambil berkata: “Sesungguhnya kekafiran akan muncul
dari sini akan muncul tanduk setan.” 711

709 Bukhari, Shahih dalam bab “Ma ja’a fi buyuti’l AzwajinNabi’.

710 Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 23.

711 Imam Ahmad bin Hambal, Musnad, jilid 2, hlm. 26.

=======================================================================
====================================================================================================================================================================================

CONTOH PEMALSUAN OLEH SUNNi

Contoh-Contoh Dari Pemalsuan Ihsan Ilahi Zahir

▪ Dia menukil di dalam kitabnya asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, halaman 40, sebuah teks dari Imam Ali as di dalam kitab Nahjul Balaghah, untuk membuktikan bahwa Imam Ali as mengakui syura dan tidak mengakui nas, dan bahwa syura orang-orang Muhajir dan orang-orang Anshar adalah diridai oleh Allah, serta kepemimpinan tidak dapat terlaksana dengan tanpa mereka. Ini merupakan kesimpulan yang dia ambil dari teks Imam Ali as, dan sebagaimana yang Anda ketahui ini jelas-jelas bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Syi’ah. Berikut ini teks yang menjadi tempat dia mengambil kesimpulan di atas,

“Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya sebagai Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangan dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhi selama dia berpaling.”

Setelah saya merujuk kepada sumber rujukan, tampak jelas bahwa laki-laki ini tidak jujur di dalam penukilannya. Dia hanya mengambil bagian tengah perkataan yang diinginkannya dan meninggalkan bagian awal dan akhirnya, sehingga dengan begitu dia memalsukan dan menyelewengkan kebenaran dan fakta.

Berikut ini teks yang berubah pemahamannya secara keseluruhan. Apa yang dikatakan oleh Imam Ali as ini adalah termasuk bab memaksa lawan dengan apa yang telah mereka paksakan untuk diri beliau. Ini merupakan kutipan surat Imam Ali as yang ditujukan kepada Muawiyah,

“Sesungguhnya aku telah dibaiat oleh orang-orang yang sebelumnya telah membaiat Abu Bakar, Umar dan Usman atas dasar yang sama seperti rnereka itu. Maka tiada lagi pilihan lain bagi yang hadir, dan tiada lagi hak menolak bagi yang tidak hadir. Adapun hak musyawarah hanyalah bagi kelompok Muhajirin dan Anshar. Bila mereka telah sepakat memilih seseorang dan menamakannya Imam, maka yang demikian itulah yang diridai Allah SWT. Dan bila setelah itu ada orang yang keluar dari kesepakatan dengan tidak mengakuinya lalu menimbulkan kekacauan, maka mereka itu akan memaksanya agar kembali. Dan bila dia menolak, mereka pun akan memeranginya atas dasar penyimpangannya dari jalan kaum Mukmin, sementara Allah akan memusuhinya selama dia berpaling.

Demi Allah, wahai Muawiyah, sekiranya Anda melihat dengan mata hati, bukannya dengan hawa nafsu, niscaya akan Anda sadari bahwa aku adalah yang paling tidak berdosa dalam soal pembunuhan terhadap Usman. Dan Anda pasti akan merasa yakin bahwasannya aku berada jauh dari itu. Kecuali Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan pada seseorang yang tidak melakukannya. Maka perbuatlah apa saja yang Anda ingin perbuat. Wassalam.”[147]

Amirul Mukminin as berhujjah atas Muawiyah dengan hujjah yang sama yang diajukan oleh Muawiyah dan para pengikutnya pada saat berhujjah mengenai keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali as memaksa Muawiyah dengan hujjah yang sama sebagaimana yang pernah diajukan oleh Muawiyah. Imam Ali as berkata, Jika baiat para khalifah sebelumku itu sah, maka demikian pula bait kepadaku. Manusia telah membaitku, dan tidak ada jalan bagi seseorang untuk mengingkarinya setelah itu. Seseorang yang menyaksikan baiat tiada lagi mempunyai hak untuk memilih, sebagaimana yang telah terjadi di dalam pembaiatan Umar, setelah Abu Bakar menentukannya. Mereka tidak mempunyai hak memilih setelah Abu Bakar menentukannya. Serta orang yang tidak hadir tidak bisa menolak, sebagaimana Imam as tidak bisa menolak pembaiatan Abu Bakar di Saqifah. Karena pembaiatan itu dilakukan secara tersembunyi. Inilah musyawarah sebagaimana yang Anda dengung-dengungkan. Baik itu pada kepemimpinan Abu Bakar, Umar maupun Usman. Itulah keridaan Allah sebagaimana yang Anda katakan. Maka tidak boleh seseorang keluar dari kesepakatan itu, karena jika tidak maka mereka akan memaksanya untuk kembali, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap orang-orang yang menahan zakat manakala mereka tidak mau membayarkan zakat kepada Abu Bakar, karena dia bukan merupakan khalifah yang sah dalam pandangan mereka. Kamu tidak mempunyai jalan untuk lari, wahai Muawiyah, karena orang-orang telah sepakat membaiatku. Kecuali jika Anda memang sengaja ingin melekatkan kejahatan kepada orang yang tidak melakukannya. Maka perbuat lah apa saja yang Anda ingin perbuat.

Inilah arti yang dapat disimpulkan dari serangkaian kalimat di atas, namun ini tidak sejalan dengan hawa nafsu Ihsan Ilahi Zahir.

▪ Dia menyebutkan di dalam bukunya sebuah hadis yang dinisbahkan kepada Imam Hasan al-Askari yang berkata, “Sesungguhnya seseorang yang membenci keluarga Muhammad, dan para sahabatnya yang baik-baik, atau salah seorang dari mereka, niscaya Allah SWT akan mengazabnya dengan sebuah azab, yang kalau sekiranya azab itu dibagi-bagi sebanyak bilangan makhluk Allah, maka akan membi-nasakan seluruh mereka.”[148]

Kemudian Ihsan Ilahi Zahir melanjutkan, “Oleh karena itu, datuk besarnya, Ali bin Musa, yang dijuluki dengan sebutan arRidha -Imam yang kedelapan di kalangan Syi’ah— manakala ditanya tentang sabda Rasulullah saw yang berbunyi, “Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk”, dan juga tentang sabdanya yang berbunyi, “Seru para sahabatku untukku”, dia menjawab, “Ini benar.”[149]

Dia ingin berargumentasi dengan hadis ini bahwa pandangan Ahlul Bait terhadap sahabat adalah pandangan yang mengakui keadilan para sahabat seluruhnya, sehingga dengan demikian Syi’ah tidak berhak mencela atau mengkritik seorang pun dari mereka, karena yang demikian itu berarti bertentangan dengan para Imam mereka.

Renungkanlah kebohongan yang jelas ini manakala saya nukilkan kepada Anda seluruh teks hadis di atas,

“Perawi berkata, ‘Ayahku berkata kepadaku, ‘Seseorang telah berkata, ‘lmam Ali ar-Ridha telah ditanya tentang sabda Nabi saw yang berbunyi, ‘Sahabat-sahabatku laksana bintang gemintang, maka siapa saja dari mereka yang kamu ikuti pasti kamu mendapat petunjuk”, dan juga sabdanya saw yang berbunyi, ‘Serulah para sahabatku untukku’. Imam ar-Ridha as menjawab, ‘Hadis ini benar. Yang Rasulullah saw maksudkan adalah mereka yang tidak berubah sepeninggalnya.’ Kemudian Imam ar-Ridha as ditanya lagi, ‘Bagaimana Rasulullah saw tahu bahwa mereka akan berubah?’ Imam ar-Ridha as menjawab, ‘Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda, ‘Sekelompok orang dari sahabatku akan diusir dari telagaku pada hari kiamat, sebagaimana diusirnya sekelompok unta dari sumber air. Maka aku berkata, ‘Ya Rabb, sahabatku, sahabatku.’ Lalu aku dijawab, ‘Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.’ Maka mereka pun digiring ke arah utara. Lalu aku mengatakan, ‘Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.’”[150]

Lihatlah pengkhianatan yang dia lakukan di dalam penukilan hadis, bagaimana dia mengubah pengertiannya secara keseluruhan.

Bukankah saya telah katakan kepada Anda bahwa dia (Ihsan Ilahi Zahir —penerj.) itu seorang pendusta?!

Perkataan Imam ar-Ridha as yang berbunyi “Berdasarkan apa yang telah mereka riwayatkan”, yang dimaksud olehnya adalah apa yang diriwayatkan oleh para muhaddis dan para huffadz dari kalangan Ahlus Sunnah. Untuk membuktikan kebenaran perkataan Imam ar-Ridha as saya nukilkan bagi Anda beberapa riwayat yang terdapat di dalam Bukhari dan Muslim.

Bukhari meriwayatkan di dalam tafsir surat al-Maidah, bab “Wahai Rasul, Sampaikan Apa Yang Telah Diturunkan Kepadamu”, dan di dalam tafsir surat al-Anbiya; sebagaimana juga diriwayatkan oleh Turmudzi di dalam bab sifat-sifat kiamat, bab “apa yang terjadi ber-kenaan dengan kebangkitan, dan juga tafsir surat Thaha, bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Didatangkan sekelompok orang dari umatku, lalu mereka digiring ke arah utara, maka aku berkata, ‘Tuhanku, sahabatku, sahabatku’, lalu dijawab, ‘Engkau tidak tahu apa yang telah mereka lakukan setelah ketiadaanmu.’ Maka aku berkata sebagaimana yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, ‘Saya menjadi saksi atas mereka selama saya berada di tengah-tengah mereka, dan tatkala Engkau wafatkan aku, maka Engkaulah pengawas atas mereka.’ Kemudian dijawab, ‘Sesungguhnya mereka berbalik ke belakang (murtad) sejak engkau berpisah dari mereka.”‘

Bukhari meriwayatkan di dalam kitab “ad-Da’wat”, bab Haudh; serta Ibnu Majah di dalam kitab “al-Manasik”, bab “Khutbah Pada Hari Menyembelih Kurban”, hadis nomer 5830; sebagaimana juga Ahmad meriwayatkan di dalam musnadnya melalui berbagai jalan,

“Serombongan sahabatku mendatangiku di telaga. Hingga ketika aku mengenali mereka, mereka dihilangkan dariku, maka aku pun berkata, ‘Sahabatku’. Lalu dijawab, ‘Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.’”

Di dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadha’il, bab “Pembuktian Telaga Nabi Kita”, hadis 40, disebutkan, “Sekelompok orang yang telah bersahabat denganku datang menemuiku di telaga. Hingga tatkala aku melihat mereka, mereka pun dipisahkan dariku, lalu aku berseru, ‘Ya Tuhan, sahabatku.’ Kemudian aku dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.’”

Bukhari juga meriwayatkan, “Aku akan mendahului kalian di telaga haudh. Siapa yang berlalu dariku dia akan minum dan siapa yang telah minum tidak akan dahaga untuk selama-lamanya. Kelak ada sekelompok orang yang aku kenal dan mereka juga mengenalku datang kepadaku; kemudian mereka dipisahkan dariku. Aku akan berkata, ‘Sahabatku, sahabatku.’ Lalu dijawab, ‘Kamu tidak tahu apa yang telah mereka lakukan sepeninggalmu.’ Dan aku pun berkata, ‘Enyahlah, enyahlah mereka yang telah berubah setelah ketiadaanku.’”

Jika tidak khawatir akan keluar dari topik pembahasan, niscaya saya akan berbicara secara panjang lebar tentang masalah ini.

Ya Ihsan Ilahi Zahir, jika Anda sanggup menjulurkan tangan Anda untuk menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam hadis-hadis Syi’ah, namun Anda tidak akan bisa menyelewengkan apa-apa yang terdapat di dalam kitab-kitab sahihmu.

▪ Pada halaman 66, dari buku yang sama, Ihsan Ilahi Zahir menukil sebuah perkataan Imam Ali as dari kitab Nahjul Balaghah. Berikut ini apa yang dikutipnya,

“Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepada orang lain selainku. Aku seperti salah seorang dari kamu. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Aku menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandingkan aku menjadi pemimpinmu.”

Ketika saya merujuk kepada sumber nas yang disebutkan, saya menemukan rekayasa dan tipu daya yang dilakukannya. Karena dia hanya mengambil permulaan dan akhir nas, dan membuang pertengahannya, sehingga dengan begitu maknanya menjadi berubah. Berikut ini saya nukilkan bagi Anda bunyi nas secara lengkap,

Imam Ali as berkata tatkala orang-orang hendak membaiatnya, setelah terjadi peristiwa pembunuhan Usman,

“Tinggalkanlah aku, dan pergilah kepda orang lain selainku. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tidak ditanggung oleh hati dan tidak dapat diterima oleh akal. Awan sedang menggelantung di langit dan wajah-wajah tidak dapat dibedakan. Kamu seharusnya tahu bahwa apabila aku menyambutmu, aku akan memimpinmu sebagaimana yang aku ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan dan dicercakan orang. Apabila kamu meninggalkan aku, maka aku akan menjadi seperti salah seorang dari kalian. Mungkin aku akan mendengar dan mentaati kepada orang yang kamu serahkan urusanmu kepadanya. Akan akan menjadi pembantu (wazir) kamu, itu lebih baik bagimu dibandikan aku menjadi pemimpinmu.”[151]

Lihatlah nas yang telah dibuangnya. Betapa maknanya menjadi berubah sama sekali dengan tanpa mencantumkannya. Perbuatan yang demikian ini, disebut apa, wahai Ihsan?! Siapa yang telah berdusta atas Ahlul Bait?!

Yang termasuk kebohongan bukan hanya Anda mengatakan sesuatu lalu Anda menisbahkannya kepada orang yang tidak mengatakannya, melainkan juga termasuk kebohongan manakala Anda menyelewengkan maksud perkata seseorang lalu Anda menisbahkannya kepada orang itu.

Subhanallah, Amirul Mukminin as telah tahu bahwa mereka tidak teguh di dalam baiatnya, dan kelak mereka akan berbalik darinya dan memeranginya pada perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan, serta akan berhujjah kepadanya dengan beribu-ribu macam pembenaran dan alasan. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as mendirikan hujjah atas mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang jalan yang akan ditempuhnya di dalam masalah hukum. Yaitu jalan kebenaran. Dan kebenaran itu pahit dan sulit, “Dan kebanyakan dari mereka tidak menyukai kebenaran.”

Telah terbukti apa yang telah dikatakannya, namun saya tidak mengharapkan tindakan pembelotan dan pembenaran ini terus ber-langsung hingga sekarang, di mana mereka menyelewengkan ucapan-ucapannya.

Saya akhiri dengan (menyebutkan) pemalsuan dan penyelewengan ini. Saya persilahkan kepada pembaca untuk memberikan komentar. Saya cukupkan sampai di sini, karena jika saya terus menyebutkan contoh-contoh pemalsuan dan penyelewengan yang dia lakukan, niscaya akan banyak memakan waktu. Secara singkat dapat saya katakan bahwa orang ini tidaklah jujur, bahkan kepada dirinya sendiri. Perbuatannya ini didorong oleh rasa permusuhannya yang sangat kepada Ahlul Bait dan para pengikutnya. Karena jika tidak, maka untuk apa semua kesewenang-wenangan yang mencolok ini? Apakah dia ingin membuktikan kebenaran yang dihilangkan, kepada manusia? Sementara dia mengikuti kebatilan dan pemalsuan sebagai alat dan tujuan?!

Di dalam bukunya yang berjudul asy-Syi’ah wa Ahlul Bait, halaman 67, Ihsan Ilahi Zahir berkata, “Ath Thabrasi juga menukil dari Imam Muhammad a-Baqir yang menegaskan bahwa Ali membenarkan kekhilafahannya (Abu Bakar), mengakui kepemimpinannya (Abu Bakar), dan berbait kepada pemerintahannya (Abu Bakar.” Sebagaimana juga dia menyebutkan bahwa tatkala Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah saw, hendak keluar meninggalkan Madinah, Rasulullah saw meninggal dunia. Ketika surat sampai kepada Usamah, maka Usamah pun bergerak bersama pasukan yang menyertainya masuk ke kota Madinah. Ketika dia melihat orang-orang sepakat terhadap kekhilafahan Abu Bakar, dia pun pergi ke Ali bin Abi Thalib dan berkata, ‘Apa ini?’ Ali menjawab, ‘lni adalah sebagaimana yang kamu lihat’ Usamah bertanya, ‘Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?’ Ali menjawab, ‘Sudah.’”

Dia telah menukil peristiwa ini dari kitab al-Ihtijaj, karya ath-Thabrasi. Berikut ini saya ketengahkan kepada Anda bunyi teks secara lengkap dari sumber di atas,

“Diriwayatkan dari al-Baqir as, bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakar, ‘Tulis kepada Usamah supaya dia datang menghadapmu. Karena dengan kedatangannya itu akan terputuslah keburukan dari kita. Maka Abu Bakar pun menulis surat kepadanya,

‘Dari Abu Bakar, khalifah Rasulullah saw, kepada Usamah bin Zaid. Amma ba’du,

Perhatikanlah, jika sudah sampai suratku kepadamu, maka datanglah kepadaku beserta pasukan yang bersamamu. Karena sesungguhnya kaum Muslimin telah sepakat atasku dan telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadaku. Jangan kamu tidak datang, karena itu berarti kamu membangkang, dan akan menimpa kepadamu sesuatu yang tidak kamu sukai. Wassalam.’

Perawi melanjutkan riwayatnya, ‘Maka Usamah pun menulis surat jawaban kepada Abu Bakar sebagai berikut,

‘Dari Usamah bin Zaid, petugas Rasulullah saw pada peperangan Syam. Amma ba’du,

Telah sampai kepadaku surat darimu, yang mana bagian awalnya bertentangan dengan bagian akhirnya. Pada bagian awal engkau mengatakan bahwa engkau adalah khalifah Rasulullah, sedangkan pada bagian akhirnya engkau mengatakan bahwa kaum Muslimin telah sepakat atas engkau dan mereka telah menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepadamu, serta telah meridaimu. Ketahuilah, sesungguhnya aku dan orang-orang yang bersamaku dari jamaah kaum Muslimin dan Anshar, demi Allah, tidak meridaimu dan tidak menyerahkan urusan kepemimpinan kami kepadamu. Ingatlah, engkau harus mengembalikan hak kepada pemiliknya dan harus melepaskannya kepada mereka. Karena sesungguhnya mereka jauh lebih berhak atas urusan ini dibandingkan engkau. Engkau telah mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah saw tentang Ali pada hari al-Ghadir. Belum terlalu lama waktu berlalu namun engkau telah melupakannya. Lihatlah kedudukanmu, dan janganlah kamu menentang, karena yang demikian itu berarti kamu telah membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membangkang orang yang telah diangkat oleh Rasulullah saw sebagai khalifah atasmu dan atas sahabatmu. Aku belum diturunkan dari jabatanku hingga Rasulullah saw meninggal dunia, sementara kamu dan sahabatmu —Umar— pulang dan membangkang, serta tinggal di Madinah dengan tanpa ijin.’”

Abu Bakar bermaksud melepaskan kekhilafahan dari pundaknya. Perawi berkata, “Maka Umar berkata kepadanya, ‘Jangan kamu lakukan, karena sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian yang Allah kenakan kepadamu. Jangan engkau melepasnya, nanti kamu akan menyesal.’” Umar mendesaknya untuk menulis banyak surat kepada Usamah, dan mendatangi si fulan si fulan supaya mereka menulis surat kepada Usamah, agar tidak memecah belah jamaah kaum Muslimin, dan supaya Usamah masuk bersama mereka kepada apa yang telah mereka perbuat.

Perawi berkata, “Maka Abu Bakar menulis surat kepadanya dan begitu juga sekelompok orang dari orang-orang munafik, ‘Hendaknya kamu rida dengan apa yang telah kami bersepakat atasnya, dan janganlah kamu meliputi kaum Muslimin dengan fitnah yang berasal darimu.”‘ Perawi menuturkan lebih lanjut, “Ketika surat-surat datang kepada Usamah, maka Usamah bergerak memasuki kota Madinah dengan pasukan yang menyertainya. Ketika dia melihat manusia bersepakat atas Abu Bakar, maka dia pun bertolak kepada Ali bin Abi Thalib as dan bertanya kepadanya, ‘Apa ini?’ Ali menjawab, ‘lni adalah sebagaimana yang kamu lihat.’ Usamah bertanya lagi kepada Ali, ‘Apakah kamu telah berbaiat kepadanya?’ Ali menjawab, ‘Ya, wahai Usamah.’ Usamah bertanya lagi, ‘Karena taat atau karena terpaksa?’ Ali menjawab, ‘Karena terpaksa.’”

Perawi melanjutkan, “Maka Usamah pun berangkat dan datang menemui Abu Bakar seraya berkata kepadanya, ‘Salam atasmu, wahai khalifah kaum Muslimin.’ Dengan serta merta Abu Bakar menjawab kepadanya, ‘Salam atasmu, wahai komandan.’”[152]

Kita tidak akan mengatakan lebih banyak kepadanya dari apa yang telah dikatakan oleh Allah SWT di dalam Kitab-Nya yang mulia,

“Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata bagi mereka.” (QS. al-Baqarah: 50)

“Tetapi karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya, dan mereka sengaja melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Maidah: 13)

[147] Nahjul Balaghah, syarah Muhammad Abduh, hal. 22.

[148] Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait.

[149] Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait.

[150] Uyun Akhbar ar-Ridha hal.. 85.

[151] Nahjul Balaghah, hal. 136, khutbah 92.

[152] Al-Ihtijaj, ath-Thabrasi, hal. 84.

Leave a comment